Surakarta berkembang dari wilayah suatu desa
bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo.
Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga
Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat
(kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan
("penambangan") di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat
tembaga "Piagam Trowulan I" (1358, dalam bahasa Inggris disebut "Ferry
Charter") sebagai "Wulayu". Naskah Perjalanan Bujangga Manik
yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh
menyeberangi "Ci Wuluyu". Pada abad ke-17 di tempat ini juga
dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah "Semanggi"(sekarang masih menjadi nama
kampung/kelurahan di Kecamatan Pasarkliwon).
Pendirian dan perkembangan
Kejadian yang
memicu pendirian kota ini adalah berkobarnya pemberontakan Sunan Kuning ("Gègèr
Pacinan") pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, raja Kartasura
tahun 1742. Pemberontakan dapat ditumpas dengan bantuan VOC
dan keraton Kartasura dapat direbut kembali,
namun dengan pengorbanan hilangnya beberapa wilayah warisan Mataram sebagai
imbalan untuk bantuan yang diberikan VOC. Bangunan keraton sudah hancur dan
dianggap "tercemar". Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso (bernama kecil Joko
Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I)
dan Tumenggung
Mangkuyudo serta komandan pasukan Belanda, J.A.B.
van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu
dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745,
tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama "Surakarta"
diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini.
(Catatan-catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta").
Pembangunan keraton ini menurut catatan menggunakan bahan kayu jati
dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri Kota dan kayunya
dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati
tanggal 17 Februari 1745
(atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku
Landep, Windu Sancaya).
Berlakunya Perjanjian Giyanti
(13 Februari 1755)
menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta,
dengan rajanya Pakubuwono III.
Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta, dengan rajanya Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono (HB)
I). Keraton dan kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755,
dengan pola tata kota yang sama dengan Surakarta yang lebih dulu dibangun.
Perjanjian Salatiga
1757
memperluas wilayah kota ini, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton
kepada pihak Pangeran
Sambernyawa (Mangkunagara I). Sejak saat itu, Sala merupakan kota
dengan dua sistem administrasi, yang berlaku hingga 1945, pada masa Perang
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Masa kolonial Belanda 1757-1942
Surakarta pada
masa kolonial Belanda merupakan daerah Vorstenlanden atau swapraja, yaitu daerah yang berhak
memerintah sendiri / tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tetapi diatur
dengan kontrak politik antara Gubernur Jenderal dan Sri Sunan. Ada dua macam
kontrak politik, yaitu kontrak panjang tentang kesetaraan kekuasaan keraton
dengan Belanda, dan pernyataan pendek tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda.
Kasunanan Surakarta diatur dalam kontrak panjang, sementara Mangkunegaran
diatur dalam pernyataan pendek.[3]
Sejak Gubernur
Jenderal G.J. Van Heutz (1851-1924), setiap terjadi pergantian raja, maka
diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S
1939/614, sedangkan untuk Mangkunegaran diatur dalam S 1940/543. [3]
Masa pendudukan Jepang 1942-1945
Surakarta pada
masa pendudukan Jepang merupakan daerah Kochi atau daerah istimewa. Sri
Sunan disebut sebagai Surakarta Koo dan Mangkunegara disebut sebagai Mangkunegoro
Koo. Pemerintahan Surakarta disebut sebagai Kooti Sumotyookan.
Ketika Jepang mengalami banyak kekalahan dalam Perang Dunia II, maka Jepang
mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai
daerah kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD
1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat,
Sosrodiningrat,
dan Radjiman
Widyodiningrat.[3]
Pada masa ini
terjadi sejumlah peristiwa politik yang menjadikan wilayah Surakarta kehilangan
hak otonominya. Pada masa perang revolusi, Pakubuwana XII naik takhta hampir
bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia.
Tidak lama setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 1 September 1945, Sri Sunan Pakubuwana XII mengeluarkan maklumat yang
menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah
daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang
pemerintahan pusat RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah RI memberikan
piagam kedudukan kepada Sri Sunan Pakubuwana XII yang ditandatangani oleh
Soekarno dan tertanggal 19 Agustus 1945.[3]
Komitmen
pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan
dengan diangkatnya Panji Suroso
tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat
istimewa. Pengakuan tersebut masih diperkuat lagi dengan pemberian pangkat
militer kepada Sri Sunan Pakubuwana XII dengan pangkat Letnan Jenderal pada tanggal 1 November
1945.[3]
Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri
ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946
ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara.
Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang
tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.
Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan,
secara otomatis Surakarta yang
merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan
Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai
bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Barisan Banteng
berhasil menguasai Surakarta sedangkan
pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena
pembelaan Jendral Sudirman.
Bahkan, Jendral Sudirman
juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang
disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946
Kasunanan Surakarta
hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh
kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.
Pada awal
pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan
memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia,
sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.
D.I. Surakarta dan Pemberontakan Tan Malaka
Begitu
mendengar pengumuman tentang kemerdekaan RI, pemimpin Mangkunegaran
(Mangkunegara VIII dan Susuhunan Sala (Pakubuwana XII) mengirim kabar dukungan
ke Presiden RI Soekarno dan menyatakan bahwa wilayah Surakarta (Mangkunegaran
dan Kasunanan) adalah bagian dari RI. Sebagai reaksi atas pengakuan ini,
Presiden RI Soekarno menetapkan pembentukan propinsi Daerah Istimewa Surakarta
(DIS).[rujukan?]
Pada Oktober
1945, terbentuk gerakan swapraja/anti-monarki/anti-feodal di Surakarta, yang
salah satu pimpinannya adalah Tan Malaka, tokoh Persatuan
Perjuangan. Tujuan gerakan ini adalah membubarkan DIS, dan menghapus
Mangkunegaran dan Kasunanan. Pertumbuhan gerakan ini cepat dikarenakan
ketidakpuasan rakyat Surakarta terhadap Kasunanan. Gerakan ini di kemudian hari
dikenal sebagai Pemberontakan Tan Malaka. Motif lain adalah perampasan
tanah-tanah pertanian yang dikuasai kedua monarki untuk dibagi-bagi ke petani (landreform)
oleh gerakan sosialis.
Tanggal 17
Oktober 1945, wazir (penasihat raja) Susuhunan, KRMH
Sosrodiningrat diculik dan dibunuh oleh gerakan Swapraja. Hal ini diikuti oleh
pencopotan bupati-bupati di wilayah Surakarta yang merupakan kerabat
Mangkunegara dan Susuhunan. Bulan Maret 1946, wazir yang baru, KRMT Yudonagoro,
juga diculik dan dibunuh gerakan Swapraja. Pada bulan April 1946, sembilan
pejabat Kepatihan juga mengalami hal yang sama.
Karena
banyaknya kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan, maka tanggal 16 Juni 1946
pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan politik Mangkunegaran
dan Kasunanan. Sejak saat itu keduanya kehilangan hak otonom menjadi suatu
keluarga/trah biasa dan keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat
pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan ini juga mengawali kota Solo di
bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan
Surakarta yang mencakup wilayah-wilayah Kasunanan Surakarta
dan Praja Mangkunegaran,
termasuk kota swapraja Surakarta. Tanggal 16 Juni diperingati setiap tahun
sebagai hari kelahiran kota Surakarta.
Tanggal 26 Juni
1946 terjadi penculikan terhadap PM Sutan Syahrir di Surakarta oleh sebuah
kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono
dan 14 pimpinan sipil, di antaranya Tan Malaka, dari Partai Komunis Indonesia.
PM Syahrir ditahan di suatu rumah peristirahatan di Paras. Presiden Soekarno
sangat marah atas aksi pemberontakan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta
menangkap para pimpinan pemberontak. Tanggal 1 Juli 1946, ke 14 pimpinan
berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Namun, pada tanggal 2
Juli 1946, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayor Jendral Soedarsono menyerbu
penjara Wirogunan dan membebaskan ke 14-pimpinan pemberontak.
Presiden
Soekarno lalu memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta,
untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak. Namun demikian Soeharto
menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri.
Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari
Kepala Staf militer RI, Jendral Soedirman. Presiden Soekarno sangat marah atas
penolakan ini dan menjuluki Lt. Kol. Soeharto sebagai perwira keras kepala (bahasa Belanda koppig).[4]
Tanggal 3 Juli
1946, Mayjen Soedarsono dan pimpinan pemberontak berhasil dilucuti senjatanya
dan ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal
presiden, setelah Letkol. Soeharto berhasil membujuk mereka untuk menghadap
Presiden Soekarno. Peristiwa ini lalu dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946
yang gagal. PM Syahrir berhasil dibebaskan dan Mayjen Soedarsono serta pimpinan
pemberontak dihukum penjara walaupun beberapa bulan kemudian para pemberontak
diampuni oleh Presiden Soekarno dan dibebaskan dari penjara.
Serangan Umum 7 Agustus 1949
Dari tahun 1945
sampai 1948, Belanda berhasil menguasai kembali sebagian besar wilayah
Indonesia (termasuk Jawa), kecuali Yogyakarta, Surakarta dan daerah-daerah
sekitarnya.
Pada Desember
1948, Belanda menyerbu wilayah RI yang tersisa, mendudukinya dan menyatakan RI
sudah hancur dan tidak ada lagi. Jendral Soedirman menolak menyerah dan mulai
bergerilya di hutan-hutan dan desa-desa di sekitar kota Yogyakarta dan
Surakarta.
Untuk membantah
klaim Belanda, maka Jendral Soedirman merencanakan "Serangan Oemoem"
yaitu serangan besar-besaran yang bertujuan menduduki kota Yogyakarta dan
Surakarta selama beberapa jam. "Serangan Oemoem" di Surakarta terjadi
pada tanggal 7 Agustus 1949 dipimpin oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Untuk memperingati peristiwa
ini maka jalan utama di kota Surakarta dinamakan "Jalan Slamet
Riyadi".
Kepemimpinan
Slamet Riyadi - yang gugur di pertempuran melawan gerakan separatis RMS
- pada Serangan Umum ini sangat mengejutkan pimpinan tentara Belanda (Van
Ohl ?), yang sempat berkata Slamet Riyadi lebih pantas menjadi anaknya,
ketika acara penyerahan kota Solo.
1998-sekarang
Pada tahun Kerusuhan Mei 1998,
tepatnya tanggal 14-15 Mei, terjadi pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah
penduduk serta fasilitas-fasilitas umum sehingga menyebabkan kota Solo lumpuh
selama beberapa hari. Berbagai bangunan di Jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran
anarki massa. Kantor-kantor, bank-bank, serta kawasan pertokoan, antara lain
Matahari Beteng, dirusak dan dijarah massa. Mobil-mobil di jalanan dibakar dan
dihancurkan. Di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading,
Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa.
Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan
pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga
penjarahan. Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula
hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank
dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu
(Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar.
Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari
empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor
Samsat, Jajar. Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula
dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan
beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan
sekitarnya.
Kerusuhan tak
hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan
kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta
ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura,
Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta
toko mebel dibakar. Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih
berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal
yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah
dibakar massa. Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput
dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu
Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar
dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat
masih terjadi di beberapa jalanan.
Kerusuhan
kemudian merambat menjadi kerusuhan rasial, para perusuh itu menyerang
pertokoan yang kebanyakan milik orang Tionghoa, tergambar dengan hampir
semua toko di eks Karesidenan
Surakarta (Solo Raya) tertulis
‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari
perusakan, penjarahan hingga pembakaran.
Siang hari
tanggal 14 Mei peristiwa tersebut selesai. Banyak toko-toko besar yang hangus
terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan
bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa. Menurut saksi mata,
amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang
guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah
sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang,
menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar
warga ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog
kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni. Ketika asap kebakaran mulai sirna
dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari
itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam
keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk
massa. Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam
bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di
Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko,
swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan
sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja Solo menganggur. Menurut catatan
Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka
Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan
supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di
Solo total Rp 457,5 miliar, sementara sumber lain memperkirakan kerugian
mencapai 600 miliar
Dua bulan
setelah kerusuhan lewat, Solo di malam hari masih seperti kota mati, seperti di
hari-hari dekat setelah kerusuhan. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda
dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi,
Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko
Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil.
Pascatragedi tersebut, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa
wilayah Kota Solo juga tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai
dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup
dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya
terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini menjadi tertutup. Wajah lain
yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang
kampung. Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa
tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan
ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak
hanya perumahan elite, namun kampung-kampung juga. Jika ada yang masuk dan
keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.
Beberapa bulan
usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita
kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan
dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat
balapan liar di jalan umum.
Data
kerusuhan Mei 1998 di Solo
|
|||
No.
|
Jenis
|
Tingkat
kerusakan
|
Jumlah
|
1
|
Perkantoran/Bank
|
Dibakar/dirusak
|
56
|
2
|
Pertokoan/ swalayan
|
Dibakar
|
27
|
3
|
Toko
|
Dibakar/dirusak
|
217
|
4
|
Rumah makan
|
Dibakar
|
12
|
5
|
Showroom motor/mobil
|
Dibakar/dirusak
|
24
|
6
|
Tempat pendidikan
|
Dirusak
|
1
|
7
|
Pabrik
|
Dibakar
|
8
|
8
|
Mobil/truk
|
Dibakar
|
287
|
9
|
Sepeda Motor
|
Dibakar
|
570
|
10
|
Bus
|
Dibakar
|
10
|
11
|
Gedung bioskop
|
Dibakar
|
2
|
12
|
Hotel
|
Dibakar
|
1
|
Balaikota
Surakarta yang baru
Hingga saat ini
tidak ada dibangun monumen untuk memperingati hal ini, dan lembaran hitam
sejarah ini mulai dilupakan penduduk kota Solo.
Pada tanggal 29
Oktober 2000, dan kembali pada 23 September 2001, menyusul serangan 11
September, kelompok garis keras "Laskar Islam Surakarta"
melancarkan aksi penyisiran warna negara asing yang tinggal di Solo.
Sehubungan
dengan terorisme, wilayah di sekitar Solo dikenal
sebagai basis beberapa kelompok garis keras, seperti pesantren di Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Baasyir. Pada tanggal 3 Desember
2002, Ali Ghufron atau "Mukhlas",
seorang tersangka Bom Bali dan
pemimpin Jemaah Islamiyah,
ditangkap di dekat Surakarta bersama dengan beberapa orang lainnya.
Kecelakaan
transportasi yang terjadi di wilayah Solo antara lain: Lion Air
Penerbangan 538 (30 November 2004) yang menyebabkan 26 orang
meninggal dunia dan Kecelakaan
kereta api di Solo 2010 yang menyebabkan satu orang meninggal di
rumah sakit.
Sejak 2005,
setelah Joko Widodo terpilih menjadi Wali Kota
Solo, kota Solo perlahan-lahan bangkit kembali dan bangunan-bangunan yang
terbakar yang dibiarkan tidak terurus mulai satu per satu dibersihkan.
0 komentar:
Posting Komentar